Selamat Datang & Terima kasih Kunjungannya, Kami Mangabarkan Selanjutnya Anda Menentukan, Menerima Artikel & Banner Promo GRATIS! Kirim ke gecor_raden@plasa.com

Jangan pernah meremehkan sebuah panggilan hati, meski itu bertentangan dengan apa yang menjadi sikap keseharian kita! Itulah yang terjadi pada sosok Martha Tilaar.
Barangkali, melihat kiprah perempuan yang masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda ini pasti kita membayangkan masa mudanya tak bakal jauh dari urusan seputar kecantikan? Pastilah ia berhubungan erat dengan keelokan, keanggunan, dan kemolekan ala kraton Jawa yang terbentuk baik dari sikap maupun penampilan.

Ternyata, masa muda perempuan kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 4 September 1937 ini jauh dari kesan cantik dan anggun. Malah, ia tumbuh jadi gadis tomboy, lincah, bahkan bandel. Ia sangat tidak suka merawat diri jika dibandingan dengan saudara-saudaranya. Bayangkan, hobinya main layang-layang dan berenang di sungai! Karena itu, kulitnya jauh dari kesan mulus dan bahkan rambutnya pun memerah. Ibunda Martha muda sering menegur dirinya agar berpenampilan layaknya seorang perempuan.

Masa remajanya, Martha mengambil kuliah jurusan sejarah di IKIP Negeri Jakarta. Sejak lulus tahun 1962, ia kemudian mengajar sejarah. Profesinya sebagai guru membuat dirinya makin sering diperingatkan sang bunda untuk berpenampilan lebih layak di depan murid-murid. Akhirnya, ia lantas dipaksa untuk ikut les kecantikan. Konon, diantar sang ibu ia belajar tata kecantikan ke Titi Purwosoenoe. Rupanya, di sinilah jiwa perempuan Martha terpanggil. Entah siapa yang memengaruhi, atau entah itu merupakan panggilan hati, Martha mulai jatuh cinta dengan dunia kecantikan.

Maka, saat sebuah kesempatan menghampirinya, Martha pun menyempatkan diri belajar kecantikan di Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana, AS. Saat itu, ia mengikuti tugas belajar suaminya ke Amerika. Dari hasil pendidikannya, ia kemudian membuka praktik salon. Ia terjun ke lapangan sendirian untuk mempromosikan usahanya. Mulai dari masuk kampus-kampus, hingga mendatangi ibu-ibu yang ikut suami tugas di sana. Martha juga menyempatkan diri melamar bekerja sebagai salesgirl produk kosmetika Avon. Setiap sore ia keluar masuk asrama mahasiswa dan mengetuk pintu untuk lalu berteriak lantang, "Avon Calling!"

Dari sini, jiwa wirausahanya terus bergolak. Maka, sekembalinya ke Indonesia, ia pun memutuskan membuka salon. Karena belum mempunyai rumah sendiri, garasi rumah orangtuanya jadi laboratorium usaha yang ia beri nama "Martha Salon". Di sebuah ruangan berukuran 6x4 meter daerah Menteng Jakarta itu, tepat pada tanggal 3 Januari 1970, menjadi hari bersejarah penentu arah hidup Martha Tilaar. Di sana, ia mulai membuat produk-produk kecantikan dari bahan alam dengan nama Sariayu Martha Tilaar, merek yang jika diartikan "Sarinya Wong Ayu".

Dari garasi itulah, perjalanan bisnis Martha Tilaar teruji dengan berbagai hal. Meski produknya mulai diterima oleh banyak orang, ia sempat ditolak saat hendak menyewa beberapa mal dan plaza terkemuka di Jakarta. Produknya dianggap tidak memiliki image berkelas.

Martha Tilaar lantas menjawab tantangan tersebut dengan mendirikan Puri Ayu Martha Tilaar pada kisaran Mei 1995. Tepatnya di daerah Kuningan Jakarta Selatan, ia membuat gerai jamu dan kosmetika Sariayu. Berkat perjuangannya, gerai tersebut mampu berkembang dan bahkan punya cabang di kota-kota besar lain di Indonesia. Usaha yang kini dinamai Martha Tilaar Group berkembang dengan sekitar 11 anak perusahaan dan mampu mempekerjakan setidaknya 6000-an orang.

Kini, dengan kesuksesannya, ia mendirikan Yayasan Martha Tilaar untuk mendidik kaum perempuan tentang kecantikan. Yayasan ini bertujuan mendidik kaum perempuan agar mempunyai keterampilan tentang kecantikan hingga bisa jadi modal saat terjadi krisis seperti pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kisah perjuangan Martha Tilaar dari nol hingga menjadi sukses luar biasa patut diteladani oleh siapa saja. Kekuatan tekad untuk mendobrak tantangan yang ada adalah inspirasi bahwa siapapun yang mau berusaha dan berjuang, pasti akan menemukan jalan keberhasilan. Sumber : Team Andriewongso.com

Tekad besar Melahirkan Industri Kosmetika Berkualitas

(Koran Sinar Harapan,2003) Kesuksesan yang kini digenggam Martha Tilaar, tidak diraih dengan mudah. Perjalanan menjadi salah satu raksasa kosmetika di Tanah Air diawali dari bawah. Kini, wanita yang sangat peduli dengan pendidikan ini mengawaki PT Martha Tilaar Group yang membawahi 11 anak perusahaan dan diakui di dunia internasional.Membangun industri kosmetika yang bergengsi di Tanah Air agaknya cukup sulit. Bayangan masyarakat yang memandang rendah produk kosmetika lokal menjadi salah satu kendala. Produk lokal dianggap kurang bermutu dan tidak setara dengan produk impor.

Martha Tilaar merasakan benar hal itu. Pengalaman pahit pernah dialaminya ketika hendak menyewa tempat di plaza dan mal kalangan berduit. Penolakan terhadap produknya datang dari berbagai plaza. ”Dulu kalau saya mau sewa tempat diusir. Mereka hanya mau menjual produk branded. Dibilang standar plazanya akan turun karena dianggap tidak ada image,” kenang perempuan berusia 56 tahun ini. Pengalaman yang sudah puluhan tahun membuatnya tidak menyerah. Ditolak di plaza dan mal, dia kemudian membangun Puri Ayu Martha Tilaar pada bulan Mei 1995 di bawah naungan salah satu anak perusahaan Martha Tilaar Group yaitu PT Martha Beauty Galery.

Pertama kali didirikan di gedung Graha Irama kawasan Kuningan Jakarta, dalam waktu relatif singkat berkembang pesat sampai ke Bandung, Yogyakarta dan Surabaya dan beberapa kota besar lainnya. Puri Ayu menjadi tempat menjual produk-produk Martha Tilaar Group termasuk layanan kepada konsumen.Istri pendidik Prof. H.A.R Tilaar ini menilai rendahnya citra produk lokal di mata masyarakat adalah juga bagian dari sikap pemerintah yang tidak konsekuen dengan komitmen mencintai produk dalam negeri. Untuk menjadi tuan di negeri sendiri, katanya butuh pengorbanan.

Serius dan komitmen yang tinggi. ”Kalau omongan dan tindakan tidak sama, ya kacau. Ini masalah yang sangat penting. Malaysia punya komitmen besar dalam soal ini. Jadinya semua orang ikut. Sekarang memang perlu kita bangun kemandirian,” ujar lulusan Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat ini.Komitmennya pada produk dalam negeri, mempengaruhinya dalam pilihan berbusana.

Sehari-hari, dalam menjalankan roda bisnisnya siapa pun bisa melihat Martha yang selalu lekat dengan busana buatan dalam negeri. Batik, kebaya atau jenis busana lain dari berbagai daerah.”Saya harus berbuat sesuai dengan komitmen saya,” katanya.Itulah Martha Tilaar. Bisnisnya yang dibangun pada 1971 berjalan cepat. Merek kosmetik Sariayu, Biokos, Belia, Caring Colours, Professional Artist Cosmetics (PAC), Aromatic, Jamu Garden adalah sebagian merek yang sudah terkenal sampai ke mancanegara.

Ketika penolakan datang dari dalam negeri sendiri sangat besar, dia justru tidak ragu-ragu untuk merambah hingga ke luar negeri. Martha Tilaar sudah membuka cabang di Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Los Angeles, Amerika Serikat. Ditambah sebuah laboratorium penelitian parfum di Paris. Bahkan Puri Ayu menjadi nama besar di Malaysia selain Brunei Darussalam dan Filipina. Bertempat di Hotel Crown Princess Kuala Lumpur, Martha juga membuka gerai SPA yang pada saat peluncurannya tidak kurang dihadiri Permaisuri Agung Tuanku Siti Aishah. Semua itu, hanya untuk memenuhi banyaknya permintaan terutama pelanggan dari salon di City Square negara tersebut.

Di Los Angeles, produk SPA sangat diminati. Ada sekitar 50 SPA yang memakai produk dari Martha Tilaar Group. Bahkan direncanakan akan membuka pelatihan (training) SPA untuk menanamkan nilai-nilai ketimuran. Orang Amerika cenderung natural, jika ada terbuat dari unsur kimia justru akan ditolak.”Pengembangan SPA ini di luar dugaan saya,” ujar Martha.Keberhasilan Martha Tilaar membawa perusahaan yang pada awalnya beroperasi di garasi rumah ayahnya akhirnya mendapat pengakuan internasional. The Star Group, organisasi yang berpusat di Los Angeles memilihnya sebagai The Leading Women Enterpreneurs of the World bersama 40 perempuan bos perusahaan di dunia.

Kegigihan Martha mengembangkan sayap ke luar negeri terutama ASEAN karena liberalisasi perdagangan. Bagaimanapun perdagangan bebas ASEAN (Asean Free Trade Area/AFTA) membuat lintas perdagangan semakin tanpa batas dengan penurunan bea impor menjadi 5 persen. Semua produk bebas masuk termasuk yang kurang berkualitas.Namun, dia berprinsip pasar dalam negeri harus tetap dikuasai.

Dengan AFTA, kalau tidak seimbang, produk lokal akan ambruk sama sekali. Jika ada keseimbangan meski produk impor masuk dan akan mengambil pasar produk lokal, namun tidak akan membuat produk domestik tersingkir sama sekali. Padahal katanya tidak seluruh produk impor baik bagi kulit. Impor sejumlah jenis kosmetika yang masuk dengan harga murah justru merusak kulit karena bahan bakunya dari material untuk tekstil, bukan untuk kulit. Jika dipakai akhirnya membuat kulit rusak.

KeunikanMembuat keunikan adalah modal bagi Martha Tilaar untuk mengembangkan industri ini. Ini sudah terbukti sejak 18 tahun lalu dengan menggali budaya etnik untuk produk Martha Tilaar Group. Trend warna tata rias yang diilhami oleh kekayaan alam dan budaya dari berbagai daerah di Indonesia diawali dari trend warna ”Senja di Sriwedari” pada 1987. Sejak itu Martha Tilaar dengan produknya Sariayu selalu mengangkat nama tempat atau unsur budaya suatu daerah dipadu dengan trend busana sehingga tercipta warna trendi yang menjadikan Sariayu trendsetter warna tata rias di Indonesia.

Misalnya saja, Gaya Warna Disainer (1998) yang mengambil unsur budaya Jawa Barat dan Kalimantan, Sumatera Bergaya (1989) dari Sumatera, Puri Prameswari (1990) mengambil dari etnik Cirebon dan Bali, Senandung Nyiur (1991) dari Pantai Indonesia, Riwayat Asmat (1992) dari Irian Jaya/Papua, Rama-Rama Toraja (1993) dan dari daerah lain seperti Banda/Ambon, Jakarta, Aceh.Pendekatan etnik, dikatakannya akan mendekatkan konsumen kepada produknya.

Secara tidak langsung ada hubungan emosional yang akan terpelihara dengan konsumen. Agaknya ini menjadi strategi yang belum pernah dilakukan oleh industri serupa lainnya. Tak mengherankan bila strategi pendekatan etnik juga yang menyelamatkan bisnisnya dari guncangan krisis moneter.

Ketika perusahaan lainnya ambruk, Martha Tilaar justru meraup penjualan yang besar dengan trend warna Pusako Minang. ”Penjualannya melonjak sampai 400 persen, padahal tahun itu semua industri melakukan PHK,” tuturnya. Selain itu, menyiasati ‘penyelamatan’ dari krisis dilakukannya dengan promosi lewat televisi. Martha menawarkan ke acara-acara televisi untuk merias para pendukung acaranya tanpa bayar, namun wajib mencantumkan nama produk di akhir acara atau sistem barter.

Tak pelak, strategi itu sangat jitu, ketika perusahaan lain kesulitan untuk berpromosi, nama Sariayu justru berkibar. Banyak acara televisi yang ditangani perusahaannya. Tahun ini, Martha Tilaar meluncurkan trend Bunga Khatulistiwa. Perempuan diibaratkan bunga. Bunga yang selalu bersinar dan menghiasi bumi Nusantara yang dilalui tepat garis khatulistiwa. Kepioniran Martha Tilaar menciptakan trend dengan penggalian budaya menarik minat konsumen di mancanegara. Tanpa suatu kekhasan, produk ini ditegaskannya tidak akan berhasil. Di luar negeri saat ini, unsur natural menjadi primadona.

”Di dunia sekarang trend dengan unsur natural. Untuk itu kita harus selalu inovatif dan unik. Kalau produknya sama saja akan kalah bersaing,” ujar Martha. Lihatlah, bagaimana SPA sangat disenangi orang-orang asing. Semua itu didukung visi misi yang disebutnya NET: Natural, Eastern dan Technology dan Three I: Icon, Institution, Innovation. Kendati perekonomian Indonesia belum pulih, Martha optimistis tahun ini akan ada peningkatan penjualan 23 persen atau sebesar Rp 600 miliar seperti yang dikutip sebuah harian lokal di Surabaya. Pertumbuhan ini lebih dari sebelum krisis yang bisa mencapai 50 persen - 60 persen.

Kontribusi terbesar datang dari penjualan Sariayu seperti pembersih, penyegar, bedak tabur, dan lipstik. Berdasarkan data yang ada, pangsa pasar terbesar adalah kategori make up 50 persen, skin care 30 persen. Diakuinya masuknya produk-produk Cina memukul produk dalam negeri, padahal dari segi kualitas tidak memadai. Hanya saja karena harganya murah, akhirnya banyak konsumen yang berminat. R&DRahasia sukses trend warna Pusako Minang tidak lepas dari peran Research & Development (R&D) yang telah dibangun Martha sejak awal. ”Sebelum meluncurkan produk baru saya menanyakan kepada ahli busana, tata rias pengantin, warna apa yang paling dominan. Gold and red, itu jawab mereka.

Saya masukkan ke R&D, pokoknya bikin gold and red,” katanya. Hasilnya memang dirasakan. Dari tangan-tangan tim ahli di R&D lahir pemulas bibir dua warna yang sangat terkenal dalam satu batang. Produk yang tentunya sangat ekonomis di tengah cekikan krisis. Tak mengherankan, sebelum dilemparkan ke pasaran produknya harus melalui pengujian R&D. Untuk R&D, Martha tidak sayang menghabiskan uang dalam jumlah besar, termasuk mengembangkan keahlian orang-orang yang ada di bagian R&D dan membangun laboratorium lengkap dengan peralatannya. Baginya kualitas memang mahal nilainya.”Sejak pertama saya berusaha saya sudah investasi di R&D.

Kalau bicara mengenai kosmetika orang nggak kepikir mengenai itu, karena merasa under developing, tidak higienis,” katanya.Dia prihatin dengan masyarakat yang masih berpikir pada produk impor. Bagi masyarakat, kosmetika berarti dari New York, Jepang atau London. Sementara Indonesia tidak terpikirkan. Karena itu, Martha menegaskan jika ingin investasi dalam kosmetika harus investasi dalam R&D. Dari sana akan bisa berkembang dengan cepat. Martha berpendapat dengan produk berkualitas tinggi, kepercayaan konsumen akan dibangun. Dengan kepercayaan, orang tidak akan mudah meninggalkan produk yang sudah dia kenal. Tak aneh, bila kemudian ada pelanggannya seumur perusahaan.

Komitmennya yang tinggi pada pengembangan industri kosmetika membuatnya tidak ragu mengirim dua ahli farmasinya belajar di Universitas Leiden, Belanda yang bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran, Bandung. Begitu juga, berbagai pameran di luar negeri selalu diikuti. Berbagai negara dirambah untuk belajar mengenai perkembangan kosmetika. Kini, di R&D ada dua stafnya yang bergelar doktor termasuk sejumlah magister dan sarjana strata satu. ”Kita ingin menunjukkan ke bangsa lain, bahwa kita bukan orang yang ketinggalan. Kita nggak mau dihina orang. Kita sebagai bangsa Indonesia harus bisa unjuk diri,” katanya.Di bawah R&D, perlahan-lahan pemakaian bahan baku impor mulai dikurangi. Para peneliti mulai mengembangkan bahan baku lokal. Bulan Juli 2002, Martha bersama puluhan pengusaha dari seluruh dunia diundang Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa Kofi Annan dalam pertemuan forum Global Compact di New York.

Dalam forum itu, para pengusaha tersebut diminta mempromosikan praktik berbisnis yang baik dalam bidang hak asasi manusia, tenaga kerja, dan lingkungan, yang telah mereka praktikkan selama ini. Sepulang dari forum itu, Martha ‘berkampanye’ mengenalkan Global Compact. Tapi, dari berbagai perusahaan yang diajak berbicara, sayangnya tidak ada tanggapan. Ini menunjukkan masalah sumber daya manusia, lingkungan dan hak asasi manusia belum menjadi prioritas dalam dunia usaha.

”Kita tiap hari ke pabrik kosmetika dengan harapan pabrik jamu yang menggunakan natural resources tergerak meningkatkan sumber daya manusianya,” lanjutnya. Komitmennya pada produk kosmetika Tanah Air agar dihargai di dunia dan Tanah Air tercapai sudah. Namun, Martha tidak pernah diam dan selalu penuh dengan cita-cita dan impian. (Sumber Koran-Sinar Harapan/Naomi Siagian/Ignatius Gunarto)

Artikel Terkait :




Posted in Labels:

0 comments:

Posting Komentar

 

Belajar Blog

Arsip Blog

Copyright (c) 2008
| Belajar Blog | Syiar Islam | CatatanGecor| Jump to TOP